cursor warna biru

Minggu, 31 Desember 2017

LGBT BUKAN TAQDIR, TAPI PENYAKIT

~ mbak Nanik Sudaryati ~

Beberapa tahun lalu, saya pernah naik pesawat dan duduk di sebelah saya seorang istri pejabat eselon satu sebuah Departemen.

Kami ngobrol ngalor ngidul , hingga bicara keluarga. Saya cerita  anak saya dua laki2 semua, kemudian saya tunjukkan foto anak -anak saya ( waktu itu Ara masih bayi).

Dia bertanya apakah suster anak -anak saya perempuan atau laki2 ? Saya jawab kalau masih bayi saya pakai perempuan semua, tapi kalau sdh di atas umur 2 tahun, selalu saya kombinasikan laki2 dan perempuan.

Dan saya larang suster berdandan atau memakai make up saat momong anak -anak saya. Saya juga kenalkan anak -anak saya mainan anak -anak laki2 seperti main bola dan mobil -mobilan.

Saat saya asyik cerita, saya lihat air mata ibu itu  menitik.”Maaf Jeng saya tdk kuat utk menunjukkan ke Anda foto anak -anak saya,” katanya dengan air mata yg makin deras.

Saya terlonjak namun berusaha tenang. Saya genggam tangannya utk menenangkan, lalu keluarlah kalimat  pengakuan dua anaknya laki -laki yg sekarang tinggal di Australia , duanya -duanya “tidak normal” ( eljibiti).

Dia bercerita tadinya yg tidak normal hanya  sulungnya. Ceritanya,  saking sibuknya dia ( selain istri pejabat juga  pengusaha dan sosialita), dia menyerahkan penuh  kepengasuhan anaknya ke suster yg ngasuh.

Tanpa sepengetahuannya, si Suster sering ngajakin main anaknya  ala perempuan, main boneka -bonekaan, jual -jualan, atau mantenan. 

Dan tentu  saking sibuknya ia jarang mengontrol aktivitas anaknya, apalagi dia sering pergi ke luar kota. Pokoknya sang anak  dari pagi sampai pagi lagi lebih banyak dng susternya.

Bahkan utk keperluan harian anaknya termasuk mainan semua diserahkan suster yg beli dan pilihkan.

Saat anaknya umur tiga tahun dan mulai gendong2 boneka dia mulai sadar ada yg nggak beres nih.

Namun lagi2 kesibukannya dengan suaminya, membuatnya dia hanya sekedar melarang anaknya, tapi tidak berusaha membuat tindakan misalnya lebih perhatian, ganti suster, dll.

Bahkan suster itu dipakainya hingga anaknya SMP,  dan saat ia sadar ternyata anaknya benar-benar  telah menjadi “perempuan”.
Semua terlambat!

Karena saat ia paksa anaknya menjadi lelaki , termasuk memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren, anaknya malah beberapa kali mencoba bunuh diri.

Alhamdulillah lahir anak kedua. Dia kemudian berusaha punya perhatian lebih, dan berganti suster setiap tahun. Intinya dia benar -benar ingin menebus “dosa”atas perlakuan  anak pertama.

Anak kedua tumbuh normal sebagai laki -laki. Lulus SMA , anaknya meneruskan ke Australia, dan tinggal satu apartemen dengan kakaknya  yg milih tinggal di Australia.

Apa yg terjadi? Hanya satahun tinggal bersama kakaknya, anak keduanya “tertular” kakaknya, lantaran sering bergaul dengan kawan -kawan kakaknya yg juga berperilaku menyimpang.

Masyaallah saya melihat demikian mendalam kesedihan yg dialami ibu itu. “ Jeng kalau orang Jawa bilang saya ini sudah cures ( habis seakar-akarnya), karena sy gak bakal punya cucu, generasi saya dan suami sudah habis,” tangisnya meledak, dan kala itu sampai ada Pramugari datang dikira dia sakit atau terjadi apa-apa.

Saya ikut kelu, dan tiba-tiba bungkam seribu bahasa. Saya ikut merasakan kepedihan  yg amat sangat dari si Ibu  tersebut.

Dan pada saat dia mulai tenang nasehat saya hanya begini, “ Ibu banyak anak -anak yg terlahir di dunia tanpa kasih sayang orangtuanya.

Mereka tinggal di panti -panti  asuhan dan juga di rumah -rumah kumuh. Sayangi mereka Bu, dan syukur ada yg Ibu bawa pulang dan Ibu sayangi seperti dia lahir dari rahim Ibu.

Siapa tau dibalik cobaan ini, Ibu ditugaskan Allah utk merawat mereka  anak -anak  yatim dan papa,” . Ibu itu seperti tersedak mendengar nasehat saya. “

Bagaimana kalau saya malah salah lagi mengasuh?” tanyanya. “ Tidak mungkin Bu, karena pasti Ibu akan belajar dari kesalahan yg pernah Ibu alami”...”Tapi saya kan tidak muda lagi?”...” Biarlah umur menjadi rahasia Allah, yg paling penting Ibu tidak merasa kesepian dan terus bersedih di sisa usia Ibu.

Siapa tau dengan merawat anak yatim -piatu, anak -anak kandung Ibu peroleh hidayah utk kembali jadi laki-laki normal”. Dia hanya mengangguk -angguk.

Kami berpisah dengan pelukan hangat. Kami terus berkabar dan meski belum membawa pulang ke rumah anak -anak yatim atau dhuafa ke rumahnya, namun dia bercerita hampir tiap hari menyambangi panti -pantia asuhan.

Dan dia juga mengaku lebih ikhlas.
Kesibukan saya yg menggunung memang membuat saya hampir tdk pernah menghubungi dalam tiga tahun ini, apalagi setelah saya ganti HP dan nomer kontaknya hilang.

Saya menulis kisah ini, setelah ramai soal Eljibiti. Semoga pemerintah betul -betul arif dan bijak, serta menyadari bahwa eljibiti itu sdh seperti penyakit yg bisa menular.

Kasihanilah para Ibu yg telah mengandung anak -anaknya dan ingin anaknya hidup normal.

Kasihanilah para ayah yg bekerja membanting tulang demi masa depan anak -anaknya utk bisa hidup normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berkomentar tapi dengan bahasa yang sopan!
Orang Indonesia adalah orang berbudaya malu. Jangan sampai malu-maluin!